Istilah Tembang Macapat
Kata tembang sebagai "nyanyian" bersinonim dengan kidung, kakawin, dan gita. Kata kakawin berasal dari kawi (
bahasa Sansekerta ) yang berarti "penyair". Kakawin berarti "syair,
gubahan, kidung, nyanyian" (Mardiwarsito, 1981 :274 ).Kata kidung
berarti "nyanyian", sudah dikenal sejak terciptanya karya sastra jawa
Kuno. Sedangkan kata tembang baru di jumpai dalam karya sastra Jawa
Baru. Kemudian kata kakawin, kidung, dan tembang digunakan sebagai
sebutan bentuk puisi Jawa secara kronologis. Kakawin merupakan sebutan
puisi Jawa Kuno berdasarkan metrum India. Kidung sebagai sebutan puisi
Jawa pertengahan berdasarkan metrum Jawa dan tembang, adalah sebutan
puisi jawa baru berdasarkan metrum Jawa.
Berkaitan dengan kata tembang, muncul kata macapat yang kemudian
digabung menjadi "tembang macapat". Kata macapat diperkirakan bukan
berasal dari bahasa Jawa Kuno atau Kawi dan bukan berasal dari bahasa
Jawa Pertengahan atau Jawa Madya, melainkan dari bahasa Jawa Baru
(Danusuprapta, 1981: 151). Bahasa Jawa Baru adalah bahasa yang digunakan
dalam karya sastra Jawa pada akhir abad ke-16 Masehi.
Arti macapat, menurut Poerwardarminta, adalah tembang yang biasa digunakan atau terdapat dalam kitab-kitab Jawa Baru.
Karseno Saputra mendefinisikan: macapat adalah karya sastra
berbahasa Jawa Baru berbentuk puisi yang disusun menurut kaidah-kaidah
tertentu meliputi guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan (Saputra,
1992: 8).
Menurut Budya Pradita macapat: puisi tradisi Jawa yang
ditembangkan secara vokal. Tanpa iringan instrumen apapun dengan
patokan-patokan tertentu, meliputi patokan tembang dan patokan sastra (
Purna, 1996: 3).
Jadi dapat diambil simpulan berdasarkan definisi di atas, bahwa
yang disebut tembang macapat adalah bentuk tembang yang merupakan bentuk
puisi Jawa tradisional yang menggunakan bahasa Jawa Baru dengan
memiliki aturan-aturan atau patokan-patokan sastra Jawa.
Penciptaan
Macapat sebagai sebutan metrum puisi Jawa Pertengahan dan Jawa
Baru, yang hingga kini masih digemari masyarakat, ternyata sulit dilacak
sejarah penciptaanya. Purbatjaraka menyatakan bahwa macapat lahir
bersamaan dengan syair berbahasa Jawa Tengahan; bilamana macapat mulai
dikenal, belum diketahui secara pasti. Pigeud berpendapat bahwa tembang
macapat digunakan pada awal periode Islam. Pernyataan Pigeud yang
bersifat informasi perkiraan itu masih perlu diupayakan kecocokan
tahunnya yang pasti.
Karseno Saputra memperkirakan atas dasar analisis terhadap beberapa
pendapat beberapa pendapat dan pernyataan. Apabila pola metrum yang
digunakan pada tembang macapat sama dengan pola metrum tembang tengahan
dan tembang macapat tumbuh berkembang sejalan dengan tembang tengahan,
maka diperkirakan tembang macapat telah hadir di kalangan masyarakat
peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 masehi. Perkiraan itu atas
dasar angka tahun yang terdapat pada Kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma yang bertahun 1643 Jawa atau 1541 Masehi (Saputra, 1992: 14).
Penentuan ini berpangkal pijak dari pola metrum macapat yang paling awal yang terdapat pada Kidung Subrata.
Sekitar tahun itu hidup berkembang puisi berbahasa Jawa Kuno, Tawa
Tengahan, dan Jawa Baru, yaitu kekawin, kidung, dan macapat. Tahun
perkiraan itu sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder bahwa lebih kurang
pada abad XVI di Jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu Jawa Kuno, Jawa
Tengahan, dan Jawa Baru.
Dalam Mbombong manah I (Tejdohadi Sumarto, 1958: 5 )
disebutkan bahwa tembang macapat (yang mencakup 11 metrum ) diciptakan
oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaran Sari di Sigaluh pada tahun
1191 Jawa (1279 Masehi). Tetapi menurut sumber lain, tampaknya macapat
tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang wali
dan bangsawan (Laginem, 1996: 27). Para pencipta itu adalah Sunan Giri
Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan
Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng,
Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra, dan Adipati Nata
Praja.
Namun berdasarkan kajian ilmiah, ada dua pendapat yang memiliki
sedikit perbedaan tentang timbulnya macapat. Pendapat pertama bertumpu
bahwa tembang macapat lebih tua dibanding tembang gede dan pendapat
kedua bertumpu pada anggapan sebaliknya. Kecuali pendapat itu ada
pendapat lain tentang timbulnya macapat berdasarkan perkembangan bahasa.
A. Tembang macapat lebih tua daripada tembang gede
Pendapat pertama beranggapan bahwa tembang macapat lebih tua daripada tembang gede tanpa wretta atau tembang gede kawi miring.
Tembang macapat timbul pada zaman Majapahit akhir, ketika pengaruh
kebudayaan Islam mulai surut (Danusuprapta, 1981: 153-154). Dikemukakan
pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan dengan kidung,
dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada (Poerbatjaraka, 1952:
72).
B. Tembang macapat lebih muda daripada tembang gede
Pendapat kedua beranggapan bahwa tembang macapat timbul pada waktu
pengaruh kebudayaan Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai
tumbuh, yaitu pada zaman Majapahit akhir. Lahirnya macapat berurutan
dengan kidung, muncullah tembang gede berbahasa Jawa Pertengahan,
berikutnya muncul macapat berbahasa Jawa Baru.
Pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring.
Bentuk gubahan berbahasa Jawa Baru banyak digemari adalah kidung dan
macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya
berbahasa Jawa Pertengahan yang biasa disebut dengan kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa Jawa Baru berupa kitab suluk dan kitab niti. Kitab suluk dan niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.
C. Tembang macapat berdasarkan perkembangan bahasa
Dalam hipotesis Zoetmulder (1983: 35) disebutkan bahwa secara
linguistik bahasa Jawa Pertengahan bukan merupakan pangkal bahasa Jawa
Baru, melainkan merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada
bahasa Jawa Kuno. Bahasa jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode
Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit.
Sejak datang pengaruh Islam, bahasa Jawa Kuno berkembang menurut
dua arah yang berlainan yang menimbulkan bahasa Jawa Pertengahan dan
bahasa Jawa Baru. Kemudian, bahasa Jawa Pertengahan dengan kidungnya
berkembang di Bali dan bahasa Jawa Baru dengan macapatnya berkembang di
Jawa. Bahkan, sampai sekarang tradisi penulisan karya sastra Jawa Kuno
dan Pertengahan masih ada di Bali.
Perwatakan Tembang Macapat
Dalam tembang macapat terdapat watak yang erat kaitannya dengan isi
metrum dan lagu. Dalam teks yang bermetrum Asmarandana, misalnya, watak
yang dimiliki adalah rasa sedih, rindu, dan mesra sehingga isinya
terkandung di dalamnya melukiskan rasa sedih, rindu, dan mesra pula.
Apabila teks itu didendangkan, lagunya harus sesuai dengan suasana yang
terdapat dalam isinya. Dengan demikian, penggunaan suatu metrum harus
sesuai dengan wataknya karena watak turut menentukan nilai keindahan
tembang.
Setiap tembang memunyai watak yang berbeda dari jenis tembang
yang lain. Watak tembang telah dirumuskan dalam beberapa aturan baku
kesusasteraan Jawa.
Di bawah ini perwatakan tembang macapat:
1. Asmaradana; berwatak: sedih, rindu, mesra; kegunaan: menyatakan rasa sedih, rindu, mesra.
2. Balabak; berwatak: santai, seenaknya; kegunaan: menggambarkan suasana santai, kurang sungguh-sungguh.
3. Durma; berwatak: bersemangat, keras, galak; kegunaan: mengungkapkan kemarahan, kejengkelan, peperangan.
4. Dandanggula; berwatak: manis, luwes, memukau; Kegunaan: menggambarkan berbagai hal dan suasana.
5. Gambuh; berwatak: wajar, jelas, tanpa ragu-ragu; Kegunaan: mengungkapkan hal-hal bersifat kekeluargaan, nasihat, dan kesungguhan hati.
6. Girisa; berwatak: hati-hati, sungguh-sungguh; kegunaan: melukiskan hal-hal yang mengandung kewibawaan, pendidikan, pengajaran.
7. Jurudemung; berwatak: senang, gembira, menggoda; kegunaan: melukiskan hal-hal yang mengandung banyak tingkah, memancing asmara.
8. Kinanti; berwatak: terpadu, gembira, mesra; kegunaan: memberi nasihat, mengungkapkan kasih sayang.
8. Maskumambang; berwatak: susah, sedih,terharu, merana, penuh derita; kegunaan: melukiskan suasana sedih, pilu, penuh derita.
9. Megatruh; berwatak: susah, sedih, penuh derita, kecewa, menerawang; kegunaan: melukiskan suasana sedih pilu, penuh derita, menerawang.
10. Mijil; berwatak: terharu, terpesona; kegunaan: menyatakan suasana haru, terpesona dalam hubungannya dengan kasih sayang, nasihat.
11. Pangkur; berwatak: gagah,
perwira, bergairah, bersemangat; kegunaan: memberikan nasihat yang
bersemangat, melukiskan cinta yang berapi-api, suasana yang bernada
keras
12. Pucung; berwatak: santai, seenaknya; kegunaan: menggambarkan suasana santai, kurang bersungguh-sungguh.
13. Sinom; berwatak: senang, gembira, memikat; Kegunaan: menggambarkan suasana, gerak yang lincah.
14. Wirangrong: berwatak: berwibawa; Kegunaan: mengungkapkan suasana yang mengandung keagungan, keindahan alam, pendidikan.
Harrah's Atlantic City Hotel and Casino - Mapyro
BalasHapusHarrah's Atlantic City 논산 출장마사지 Hotel and 군산 출장샵 Casino. Hotel address: 충청북도 출장샵 777 시흥 출장안마 Harrahs Blvd, Atlantic City, NJ 08401. Property. 목포 출장안마 08401. Location. 777 Harrahs Blvd